Tampilkan postingan dengan label Opini Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini Budaya. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Juli 2012

Polemik Teriakan "Jangan Curi" Budaya Kami

Belum selesai pertengkaran mengenai batas teritorial negara, klaim atas daerah perbatasan, bertambah pula klaim atas budaya asli Indonesia oleh negara lain. Aku sebenarnya tak tahu apakah hal ini adalah sebuah kebenaran dari realitas ataukah hanya sebuah ajang dari media untuk meningkatkan tranding, peran elit politik untuk mengubur isu korupsi, peran negara ketiga untuk mengadu domba setiap negara serumpun atau mungkin saja sebuah kesalahpahaman karena komunikasi yang tak berjalan dengan baik. Isu tersebut kemudian dikonsumsi mentah-mentah oleh masyarakat, yah masyarakat kan dominan memakai pemahaman literal meraka dibanding pemahaman kritis mereka. Jadi, wajar saja kalau Indonesia seperti sebuah layar yang setia mengikuti arah mata angin.

Dibalik semua itu akupun tak setuju jika dalam sebuah hubungan bilateral sebuah negara masih ada yang namanya pengklaiman atas budaya sebuah negara. Negara yang mengklaim dan negara yang diklaim budayanya sama-sama tak akan mendapat keuntungan yang setimpal dengan kerugian atas tindakan tersebut. Negara yang mengklaim budaya negara lain kalau saya melihatnya tak ubahnya bagai sebuah negara tanpa sebuah identitas, ataukah sama seperti seekor rusa tanpa tanduk, harimau tanpa belang atau gajah tanpa gading. Adakah yang mau seperti itu? Semoga tak ada.Negara serumpun memang rentang akan isu pencurian budaya, karena mau tidak mau atau suka tidak suka mereka dilahirkan dengan rumpun yang sama yang otomatis memiliki kemiripan karakter baik dari segi fisik maupun budaya sekalipun.

Aku justru memakai logika terbalikku untuk melihat permasalahan tersebut, sebelumnya masyarakat tak pernah menghargai atau setidaknya mengenal budaya mereka sebelum diklaim oleh negara lain. Contohya, masyarakat kita jarang sekali yang mengenal Reog Ponorogo sebelum diklaim, tetapi setelah diklaim "wah" kecintaan mereka meningkat, menggebu atau mungkin bisa disebut fanatik posessif. Kecintaan masyarakat terhadap budaya yang diklaim tak hanya pada budaya dan warisan-warisan yang lumayan besar memiliki nama seperti batik, tari pendet, wayang kulit dan sebagainya tetapi juga pada masakan seperti Rendang Padang. Masyrakat baru tersadar bahwa budaya mereka ternyata bernilai dan memiliki nilai di mata orang lain atau bahkan negara lain padahal mereka tak pernah menghargai budaya tersebut.

Aku tak hanya sekadar berapologi pada  tulisan ini, aku melihatnya memang baru secara kasat mata. Pengamatan tersebut tentunya tak jauh dari penghargaan masyarakat di sekitar saya mengenai budaya kami (masyarakat Sulsel). Daerah saya khususnya terdapat sebuah kebudayaan yang merupakan warisan dari orang-orang terdahulu kami atau lebih lazim disebut nenek moyang. Budaya tersebut adalah budaya yang sangat identi dengan komunitas bissu. Upacara adat mappalili, maggiri, dan lain sebagainya adalah upacara adat yang dulunya memilki nama besar pada zaman kerajaan. Hal tersebut tak berlaku lagi untuk saat ini. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya pergeseran nilai oleh masyarakat bahkan oleh pucuk pimpinan di setiap daerah. Masyarakat lebih mencintai budaya daerah lain atau bahkan negara lain dibandingkan dengan budaya mereka sendiri, sehingga lahirlah cap "Pecinta Korea" bagi para remaja yang asyk sekali mengikuti gaya negara mode tersebut.

Teriakan-teriakan JANGAN CURI budaya kami hanyalah sekadar teriakan tanpa sebuah efek jika tak dimulai dengan sikap mencintai dan melestarikan budaya. Mulailah untuk melihat ke dalam kemudian menginterpretasi keluar sehingga lahir sebuah introspeksi dan tak hanya sebuah ego dan pemikiran naif yang melahirkan kebencian tak berdasar. Jagalah, lestarikanlah, dan cintailah jika kamu tak mau kehilangan. (Hal tersebut kan sama dengan prinsip antara sepasang kekasih "Jika kau tak menjaga wanitamu maka yakinlah orang lain akan merebutnya darimu" hehehe)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...